Thursday, March 19, 2009

Internet, Demokrasi dan Pemilu

Artikel ini ditulis Teguh W - dimuat di Buletin inTips Februari 2009

Heboh.. Pemilu sebentar lagi.... Kampanye "damai" saat ini sedang digulirkan oleh para pendukung caleg masing-masing, dengan berbagai caranya sendiri, selama masih dalam koridor yang dibenarkan, demi terciptanya kampanye damai pemilu Indonesia 2009. Tetapi mau tahu cara yang paling damai tapi efektif untuk kampanye? Gunakan internet!
Seperti yang dilansir oleh detik.com beberapa hari lalu, ternyata cara yang dinilai paling efektif dalam kampanye adalah menggunakan internet, atau kampanye online. Tentu saja cara ini lebih mudah dan juga murah, dan bisa diarahkan kepada khalayak orang tertentu.

Internet sendiri merupakan singkatan dari Interconection Networking (ada yang menyebutnya sebagai International Networking). Yaitu suatu jaringan yang menghubungkan komputer di seluruh dunia tanpa dibatasi oleh jumlah unit menjadi satu jaringan yang bisa saling mengakses satu sama lain. Dengan internet, satu komputer dapat berkomunikasi secara langsung dengan komputer lain di berbagai belahan dunia. Disamping tujuan telekomunikasi, salah satu tujuan tersirat dari pengembangan teknologi Internet adalah untuk memperkuat demokrasi dan menyebarkan nilai-nilai kemerdekaan, terutama kebebasan berpendapat. Hal itu bisa dimengerti karena teknologi internet memang diciptakan oleh banyak teknolog yang berjiwa merdeka. Diantaranya adalah sederetan nama seperti Steve Jobs, John Postel, John Perry Barlow, Mitch Kapor dan banyak lagi yang lainnya. Ironis memang bahwa meskipun internet awalnya diciptakan sebagai instrumen bagi Departemen Pertahanan Amerika Serikat, namun orang-orang yang mendesain dan mendukung kelahirannya adalah orang-orang “bebas” yang bekerja di seputar kampus seperti UCLA, MIT dan Barkely. Banyak di antara mereka yang terlibat dengan gerakan budaya-tanding (counter culture) pada era tahun 1960-1970-an.

Sedangkan jika dilihat dari perkembangannya, terlihat bahwa internet mulai berkembang pesat sejak dimulainya era 1990-an. Perkembangan pesat tersebut ternyata berbarengan dengan masa tumbangnya komunisme di Uni Soviet, dan beriringan dengan merebaknya demokrasi di kawasan Eropa Timur, Rusia dan sebagian wilayah Asia. Entah ada benang merahnya atau tidak, yang jelas ada dua fenomena yaitu internet dan demokrasi yang sepertinya menjadi saling terkait di dalam pikiran banyak orang.

Internet untuk Demokrasi

Dalam banyak hal, internet memang memiliki karakteristik yang dapat memperkuat demokrasi dan menyebarkan nilai-nilai kebebasan ke seluruh dunia. Para penggagas teknologi yang berjiwa bebas tersebut membangun arsitektur internet yang terbuka dan bisa diakses banyak orang. Munculnya lembaga-lembaga penting di awal pendiriannya seperti Whole Earth Electronic Link atau The Well menjadi prototype forum di internet sehingga internet mampu menunjukkan manfaatnya sebagai alat demokratisasi, untuk mempromosikan kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat.

Internet dapat membangun masyarakat sipil yang demokratis sebab ia mengijinkan individu di manapun untuk bergaul dengan orang lain secara bebas. Kemerdekaan berkumpul, berserikat dan mengemukakan pendapat sangat dimungkinkan jika menggunakan media internet, meskipun hanya dilakukan secara maya. Hal itu tentu saja bisa dijumpai dalam berbagai kasus. Sebagai contoh, organisasi-organisasi yang bergerak dalam penanganan Hak Asasi Manusia (HAM) menggunakan internet untuk saling berbagi informasi mengenai penindasan dan pelanggaran HAM. Pemerintah di berbagai negara (termasuk Indonesia) memiliki e-government yang menempatkan informasi secara online yang dapat diakses oleh warga negaranya 24 jam dalam sehari. Fenomena menarik tentang demokrasi di internet juga terjadi di Mesir, dimana dengan menggunakan internet penduduk Mesir seringkali membaca berita-berita yang sebenarnya disensor oleh pemerintah. Demikian juga ketika Milosevic di Belgrade menutup sebuah stasiun radio milik oposisi, stasiun itu lalu menempatkan siarannya di Internet sehingga stasiun radio lainnya seperti Radio Free Europe mengutip siaran itu dan menyiarkannya kembali ke Serbia.

Dalam banyak kasus terlihat jelas peranan internet dalam penyebarluasan demokrasi. Terutama karena adanya "ketakterbatasan" internet dimana dia bisa memberikan layanan selama 24 jam dalam sehari dan 365 hari dalam setahun secara non-stop. Suatu kelebihan yang tidak dimiliki media lainnya. Sumber-sumber informasi dari seluruh dunia dapat tersedia secara instan di rumah setiap orang yang menggunakannya, dan dapat diakses setiap saat ketika dia memerlukannya.

Sisi Gelap Internet

Diantara berbagai sisi positif penggunaan internet sebagai pendukung demokrasi, muncul pula dampak negatifnya. Satu dampak yang disebut dengan digital devide mulai dirasakan yaitu kesenjangan antara yang memiliki informasi dengan yang tidak, yang dikhawatirkan akan memperlebar ketimpangan yang ada, bukan hanya dalam satu negara tetapi juga antara negara-negara kaya dengan negara-negara miskin. Dalam sebuah laporannya, National Urban League pernah menuduh bahwa revolusi digital benar-benar memperparah kemiskinan, yakni mempercepat hilangnya pekerjaan di perkotaan. Hal itu dilatarbelakangi dengan kemampuan internet yang dikombinasikan dengan program-program komputer tingkat tinggi yang mampu menggantikan beberapa pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai lapangan pekerjaannya.

Pelanggaran atas hak privacy secara besar-besaran juga sering terjadi di internet. Seperti misalnya ketika seseorang memasuki atau menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer orang lain secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya. Probing dan port scanning merupakan contoh dari kejahatan jenis ini. Contoh lainnya adalah cyber-tresspass atau pelanggaran area privasi orang lain dengan menggunakan spam email (mengirimkan email yang tidak berguna atau email sampah yang ditujukan kepada seseorang) dan lain sebagainya.

Aktifitas negatif lainnya adalah illegal content. Aktifitas tersebut merupakan kejahatan yang dilakukan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. Yang sering terjadi misalnya penyebarluasan pornografi di internet yaitu dengan membuat, memasang, mendistribusikan dan menyebarkan materi-materi cabul serta mengekspos hal-hal yang tidak pantas. Contoh lain yang juga masuk kategori illegal contents adalah penyebarluasan isu-isu atau fitnah menggunakan media internet yang dilakukan terhadap seseorang (biasanya public figure).

Di sisi lain, pihak pihak yang kontra demokrasi juga berusaha untuk memanfaatkan internet. David Simon Leslie, dalam bukunya Democracy and The Internet : Allies or Adversaries ? mencatat bahwa di Amerika, beberapa kelompok neo nazi juga membangun situs Web untuk melakukan propaganda. Kelompok-kelompok teroris seperti Al Qaeda atau yang lainnya juga memanfaatkan internet untuk berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Pemerintah yang otoritarian juga berusaha untuk melarang internet, melemahkan ciri-ciri demokratisnya dengan berbagai aturan yang bersifat membatasi seperti misalnya sensor, registrasi situs, regulasi enkripsi serta kriminalisasi atas berbagai bentuk penggunaan internet. Beberapa negara mulai membatasi kebebasan berbicara di Internet dengan cara mensyaratkan registrasi sebelum melakukan akses terhadap sebuah forum. Cina bahkan telah menjadikan beberapa aktifitas di internet sebagai sebuah perbuatan kriminal, setidaknya dalam satu kasus yang pernah di publikasikan dimana ada seorang yang dipenjarakan karena mendistribusikan daftar nama tertentu tanpa ijin.

Konklusi

Tidak bisa dipungkiri bahwa penggunaan Internet memberikan pengaruh bagi terbukanya kebebasan dan demokrasi di banyak hal. Bahkan di negara-negara Timur Tengah semula memiliki kekhawatiran bahwa internet akan melemahkan kontrol kebudayaan dan ajaran Islam-pun telah banyak mengadopsi manfaat internet. Perdagangan elektronik di Timur Tengah meningkat sepuluh kali lipat sejak tahun 1997 sampai era tahun 2000. Apalagi ketika Internet Service Provider (ISP) mulai online di beberapa negara dan membuat internet bisa diakses lebih murah, pengguna internet di kawasan ini telah mencapai 3.5 juta orang berasal dari Uni Emirat Arab, Yordania, Bahrain, Kuwait dan Arab Saudi (Leslie, 2003). Akhir tahun 2000 merupakan titik tolak pesatnya perkembangan Internet di Timur tengah ketika saat itu pertemuan Konsorsium Nama Internet Arab di Dubai menetapkan sistem alamat URL berhuruf Arab.

Memang tingkat kemampuan internet untuk memfasilitasi kebebasan dan demokrasi, berbeda di setiap negara. Negara-negara demokrasi kuat seperti Amerika Serikat, negara-negara Uni Eropa, Kanada dan lain-lain merupakan negara yang paling banyak memanfaatkannya. Negara-negara yang baru berjuang untuk menjadi demokratis-pun, telah banyak merasakan manfaat internet, terutama bagi pendidikan masyarakatnya. Sedangkan tantangan yang terberat bagi pemerintah yang warga negaranya sudah memanfaatkan internet adalah bagaimana menciptakan regulasi yang tepat, tanpa memperlemah pertumbuhan demokrasi yang ditimbulkannya. Regulasi penting dibuat mengingat mulai merebaknya berbagai pelanggaran dan kejahatan yang sudah dan sedang terjadi di internet mulai dari sekedar probing, port scanning sampai pada sabotage and extortion yang kesemuanya akan mengancam tujuan mulia dari pemanfaatan internet.

Dalam hiruk pikuk pemilu di Indonesia, Internetpun sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatan pesta demokrasi ini. Saya menemukan berbagai site pages baik dalam bentuk blog, friendster maupun facebook para calon legislatif yang “dengan penuh keberanian” mempromosikan diri di internet. Saya mengatakan dengan penuh keberanian, karena dengan menceburkan diri ke dunia Internet, maka para kandidat calon legislatif itu telah masuk ke lingkaran pisau bermata dua. Satu sisi, dengan menggabungkan diri ke internet, maka para caleg akan mendapatkan akses global ke semua calon konstituen-nya. Para caleg akan dapat secara bebas melakukan “promo”, memperbaiki atau menunjukkan “citra positif” yang dimilikinya dengan panjang lebar “tanpa batas”. Tetapi di sisi lain, dia juga harus membuka akses global untuk merka yang tidak menyukainya. Harus bersiap menerima “sindiran”, cercaan, atau bahkan hujatan dari pengunjung situs yang mungkin saja adalah lawan politik atau orang-orang yang tidak menyukainya. Ya.. mungkin itulah kompensasi dari sebuah kebebasan berdemokrasi.

Ada lagi hal yang menarik ketika salah seorang "caleg", teman saya yang juga dosen di tempat saya bekerja, melempar "janji kampanye" untuk membuat website dinamis khusus bagi DPRD jika dia terpilih nanti. Memang ada yang mentertawakan "janji" tersebut, bahkan termasuk oleh sesama dosen yang lain. Tetapi bagi saya pribadi, itu adalah ide yang brillian.. Bukan masalah teknis pembuatan websitenya, karena secara teknis, membuat web bisa saja diselesaikan dalam beberapa jam saja. Tetapi bagaimana menerapkan demokrasi ke dalam "birokrasi komplek" semacam DPRD, inilah poin yang bisa dipetik. Apakah anggota dewan bersedia secara transparan memberitakan kepada masyarakat luas tentang apa yang telah dilakukannya? Apakah mereka juga bersedia mendapatkan akses global bagi masyarakat yang ingin mengawasi dan bahkan mengkritiknya? Jadi seandainya janji tentang website dinamis bagi anggota dewan ini bisa terealisasi, bagi saya itu adalah suatu hal yang luar biasa..

Tidak dipungkiri bahwa internet telah memberikan nilai tambah yang luar biasa untuk perkembangan demokrasi di dunia. Dan di balik sisi-sisi negatif yang seringkali muncul, bagaimanapun menurut saya, internet akan lebih banyak menjadi kawan bagi perkembangan demokrasi di berbagai belahan dunia, dan bukan sebagai lawan yang mengancam pertumbuhannya.

Salam untuk kebebasan !

1 comment:

Chuck said...

Salam Kebebasan juga pak!